Laman

1

Sabtu, 12 Februari 2011

Cara Alternatif Belajar yang Terabaikan

Teng, teng, teng!

Lonceng istirahat baru aja bunyi. Siswa yang ada di kelas langsung bubar menuju lapangan olah raga atau kantin. Semua, kecuali dua siswa berkerudung yang ada di sebuah kelas di ujung sekolah. Mereka tetap tekun mengerjakan pola baju di atas karton manila pink yang sudah lusuh.

Pensil 2B yang sudah pendek tidak menghabiskan semangat belajar mereka. Begitu juga ketika salah seorang siswa tadi tidak mempunyai penggaris. Teman yang satunya langsung mematahkan penggaris miliknya tanpa ragu, lalu memberikannya pada temannya.

Kejadian di atas bukan karangan, lho … tapi kru belia melihatnya langsung waktu menyambangi sebuah sekolah terbuka di kawasan Tanjungsari. Penggaris seharga seribu rupiah yang biasanya dengan gampang kita hilangin, bagi dua siswa tadi adalah benda berharga yang harus dijaga baik-baik.

Hhhhfff … sementara kita sering mengeluh dengan tugas sekolah dan kecerewetan guru, dua teman kita tadi punya semangat berlapis-lapis buat bisa tetap belajar dengan berbagai keterbatasan yang ada. Salut!

Ngomongin soal sekolah terbuka nih, kalau dirunut ide awal didirikannya sekolah terbuka muncul pas Orde Baru masih berkuasa, sekitar tahun 1978. Waktu itu, jumlah lulusan sekolah dasar banyak banget, sementara jumlah sekolah lanjutan tingkat pertama yang ada enggak mencukupi buat menampung kuota lulusan tadi.

Keterbatasan lain kayak dana, fasilitas, juga guru jadi alasan lain yang bikin pemerintah bergerak membuat sekolah terbuka. Hmm … masalah-masalah klasik dunia pendidikan Indonesia banget, ya?

Selain sekolah terbuka di Tanjungsari tadi, kru belia juga sempet nyambangin sekolah terbuka lainnya di kawasan Dago Pojok. Sekolah yang namanya “Komunitas Belajar Bersama Taboo” (baca: Taboo) ini udah berdiri sejak tahun 2004.

Gampang banget buat nemuin Taboo, tinggal cari aja bangunan bercat hijau yang di dindingnya terpampang banyak gambar bikinan siswanya. “Ide awal ngediriin sekolah ini karena pendidikan di negara kita mahal, mau masuk sekolah favorit juga mahal banget. Kita pengen agar pendidikan tidak terbentur dana dan lain-lain,” urai Kang Rahmat Jabaril dari Taboo.

Bertiga bareng temen-temennya yang lain, mereka urunan buat nyewa rumah sampai beli alat tulis dan buku. Sampai sekarang pun, tiga sekawan ini masih mengeluarkan dana dari kantong pribadinya. Lokasi sengaja dipilih agak menyelusup ke area yang jauh dari keramaian kota, “Di kampung kayak gini, persoalan sosialnya lebih terasa,” ujar lelaki berambut gondrong ini. Tiap Selasa dan Minggu, Taboo selalu dipenuhi dengan anak-anak sekitar Dago Pojok, dari mulai SD sampai SMP.

Cara belajar di Taboo ini beda dengan sekolah kebanyakan, di sini digunakan sistem face to face dan metode belajar kreatif. “Kita pengen agar anak-anak merasa belajar itu adalah kegiatan yang menyenangkan,” kata Kang Rahmat. Makanya jangan heran kalau Belia datang ke Taboo dan nemuin anak-anak di sini pada sibuk menggambar, baca komik, atau main boneka rokrak. Tapi pas guru manggil nama mereka buat ngerjain pekerjaan rumah-nya, mereka sigap dan menurut.

Kalau menurut Kang Hari Setyowibowo, Psi., Dosen Unpad, biar siswa betah belajar, maka apa yang diajarkan itu haruslah menarik, “Supaya dia tertarik dan mengingat materi pelajaran,” jelas Kang Hari. Metode face to face jelas akan lebih efektif, selain guru akan lebih tahu di mana kesulitan siswa, siswa juga akan belajar lebih terbuka. “Tapi, di lapangan kan masih banyak keterbatasan, misalnya jumlah pengajar dan siswa yang tidak seimbang,” tambah Kang Hari. Sigh … the same old problems.

Beruntung, mungkin itu kata yang tepat buat anak-anak Taboo. Di tengah himpitan keterbatasan, mereka punya kesempatan belajar face to face yang enggak dimiliki anak-anak sekolah lain. Hasilnya? Bisa dibilang tokcer!

Kru belia sempet merhatiin anak-anak Taboo pas lagi belajar. Dengan bantuan kakak-kakak pengajar dari ITB, soal matematika yang sulit bisa juga diselesaikan dengan satu kali latihan. “Belajar di sini nyenengin banget, kakaknya baik, bukunya banyak, kalau ada PR yang sulit langsung dibantuin,” kata Ranti, Belia ceriwis berambut keriting. Ssst, anak-anak Taboo ini enggak kalah berprestasi dibandingin sekolah lainnya. Tulisan mereka pernah dimuat di buku “Selamatkan Boscha” dan mereka sering pentas di CCF. Bravo!

Next stop, belia jalan-jalan ke sekolah bus. Kalau Belia pernah baca novel Toto Chan dan sekolah gerbong keretanya, kira-kira seperti inilah “Bus-Mobile Class” yang ada di kawasan Ermawar, dekat Stadion Siliwangi ini. Bus-Mobile Class ini diadain oleh Mobile Class Community. Seru, itulah yang kru belia rasain pas nyambangin sekolah terbuka yang satu ini. Yup, enggak jauh dengan apa yang belia rasain pas baca novel Toto Chan. Hihihi .…

Menurut Pak Heru, salah satu staf, Bus-Mobile Class ini adalah salah satu usaha buat ngewujudkan “Pendidikan untuk Semua” yang dicanangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dalam rangka melakukan pemerataan pendidikan bagi warga Indonesia.

Siapa pun terutama anak jalanan, pekerja anak, dan Belia yang jarang tersentuh pendidikan adalah target utama program sekolah berjalan ini. Kalau Taboo hanya punya dua hari dalam seminggu, Bus-Mobile School ini ada selama tiga hari di antara Senin hingga Jumat. Bukan hanya Ermawar yang disambangin, layaknya bus lainnya, dia bakal jalan-jalan keliling kota dan singgah di lokasi pusat kegiatan belajar masyarakat kurang mampu.

Lebih seru lagi, kalau udah Sabtu dan Minggu, soalnya teman-teman bisa belajar banyak dari berbagai tempat menarik yang bakal dikunjungi, bisa aja lho temen-temen dibawa ke istana negara atau ke gedung MPR. Sayangnya, sampai sekarang peminatnya masih kurang.

Sama seperti Taboo, di bus ini juga disediain banyak banget komik. “Kalau mereka langsung kita suguhi dengan bacaan yang berat-berat, kemungkinan besar mereka akan cepat bosan dan menjadi malas. Maka dari itu, kita harus membuat mereka senang baca terlebih dahulu, agar kemudian dapat kita arahkan ke buku pelajaran,” papar Pak Heru. Asyik, ya? Apalagi nih di Bus-Mobile School juga dilengkapin sama perlengkapan audio visual.

Mirip seperti Taboo yang independen banget, biaya operasional sekolah bis yang didirikan tahun 2007 ini hanya berasa dari donatur dan sponsor. Hayo … buat Belia di luar sana yang punya kesempatan buat bantu, yuk kita sama-sama bantu teman-teman kita. Jangan ragu kalau Belia pengen nyumbangin buku, alat sekolah, atau ikutan mengajar. Boleh banget, kok!

Satu pesan kru belia, di balik semua keribetan tugas dan ujian sekolah, kita harus mensyukuri dan sadar bahwa Belia adalah salah satu dari sedikit orang beruntung yang bisa menuntut ilmu di sekolah. Percaya deh, pendidikan adalah salah satu cara efektif buat menghapus kemiskinan di negeri ini. Ayo, kita pinter bareng-bareng! Setuju? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar